oleh

Tolak Kelola Izin Tambang, Pewarna Apresiasi KWI dan PGI, Tak Mau Jadi ‘Stempel’ Rezim

-News-107 views

Lepongannews.com-Luwu Raya – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sulawesi Selatan (Sulsel) Persatuan Wartawan Nasrani (PEWARNA) mengapresiasi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persatuan Gereja Indonesia (PGI) yang mengambil sikap berbeda dari lembaga keagamaan lainnya dengan menolak mengelola izin tambang kendati diberi akses lewat regulasi terbaru pemerintah.

Di ujung kekuasaannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi karpet merah kepada ormas keagamaan mengelola izin tambang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Peraturan itu memberi prioritas kepada ormas keagamaan untuk memiliki wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Namun, KWI dan PGI menyatakan tidak akan menggunakan kesempatan itu karena tidak sesuai dengan bidang pelayanan dan pilihan sikap terkait masalah lingkungan.

Ketua PEWARNA Sulawesi Selatan, Jansen Saputra Godjang,

menyebut langkah KWI dan PGI itu “patut diapresiasi” karena “tentu dilatari pertimbangan kritis ihwal model kerja industri ekstraktif yang destruktif sekaligus bisa dibaca sebagai gambaran akan realitas KWI dan PGI yang banyak membersamai warga di lingkar tambang selama ini.”

Pilihan itu, katanya kepada Pewarna, juga menunjukkan bahwa KWI dan PGI “tidak terjebak pada keuntungan kelompok sendiri, tetapi punya sensitivitas yang tinggi dengan masyarakat korban dan lingkungan hidup.”

Dalam sebuah pernyataan pada 6 Juni 2024 baru-baru ini, Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau KWI, Romo Marthen Jenarut, menyebut “KWI sepertinya tidak berminat untuk mengambil tawaran” pemerintah.

“Gereja Katolik selalu mendorong tata kelola pembangunan sesuai prinsip berkelanjutan di mana pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup,” sebutnya pada Pewarna.

Sebagai lembaga keagamaan, peran KWI hanya berkaitan dengan “tugas-tugas kerasulan diakonia (pelayanan), Kerygma (pewartaan), Liturgi (ibadat) dan Martyria (semangat kenabian).”

Dengan begitu, katanya, KWI akan tetap konsisten melakukan pewartaan dan pelayanan dan ingin mewujudkan tata kehidupan bersama yang bermartabat.

Ia menegaskan KWI selalu memegang prinsip kehati-hatian agar segala tindakan dan keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelayanan Gereja Katolik.

Prinsip-prinsip itu seperti menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, keadilan solidaritas, subsidiaritas, kesejahteraan umum serta menjaga keutuhan ciptaan alam semesta.

Pernyataan Marthen, imam dari Keuskupan Ruteng itu, muncul setelah Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo berkata bahwa sehari sebelumnya bahwa, KWI tidak berkompeten di bidang pertambangan sehingga menolak tawaran pemerintah.

“Saya tak tahu kalau ormas-ormas yang lain ya, tetapi di KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu karena bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya,” kata mantan Ketua KWI itu.

Langkah otoritas Gereja Katolik telah diikuti organisasi berbasis Katolik seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

“Kalaupun ada penawaran (dari pemerintah, PMKRI pasti menolak,” kata Ketua Presidium PP PMKRI, Tri Natalia Urada.

Ia menjelaskan pertimbangan paling mendasar adalah PMKRI “tidak ingin mencederai independensi sebagai organisasi kemahasiswaan” dan “kami tidak mau pembinaan dan perjuangan terkooptasi dengan kepentingan-kepentingan usaha tambang.”

Sebaliknya, “kami akan terus menyikapi dan mengkritik berbagai persoalan yang diakibatkan oleh operasi industri pertambangan.”

Ia berkata, PMKRI menilai pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan mempertajam ketimpangan sosial.

“Karena itulah, kata dia, PMKRI berharap pemerintah menghentikan rencana ini,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa, ormas itu justru dijadikan “stempel” oleh rezim kekuasaan politik.

Pewarta: Ben/Yus

Komentar