oleh

Kudatuli Peristiwa Besar yang Dikerdilkan, Jatuhnya Rezim Orde Baru

-News-52 views

Lepongannews.com-, Luwu Raya – Peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 dikenal sebagai peristiwa Kudatuli semakin dikerdilkan dengan rezim sekarang, lewat begitu saja dan seakan tak berarti.

Nama Kudatuli merupakan akronim dari tanggal terjadinya peristiwa Sabtu kelabu yang menampilkan aksi kekerasan massa Pro-Soerjadi merebut kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lama yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Soerjadi ‘disponsori’ Rezim Orde Baru mengambil alih paksa kantor DPP PDI lewat pertumpahan darah.

Pada tahun 1987 dan 1992, suara Partai PDI mengalami kenaikan signifikan disebabkan masuknya putra-putri Bung Karno ke partai. Yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra. Bergabungnya Megawati ke PDI pada 1987 meresahkan banyak pihak, terutama pemerintah Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

Hal tersebut disampaikan Jakobus Kamarlow Mayong Padang pada media ini via whatsapp, Sabtu 27 Juli 2024 bahwa, Forum Korban Kerusuhan (FKK) 124 korban anekdot Polri.

” Yah saya serius, itu sebuah pertunjukan besar yang amat lucu dan belum ada yang menjadikannya ‘Disertasi’. Padahal bahan yang sangat bagus dan menarik. Orang berdiam dalam rumahnya, diserang dengan batu dan senjata sampai banyak yang meninggal. Setelah penghuni tak berdaya, mereka pun diangkut lalu ditahan dan selanjutnya diadili dan diputuskan bersalah,” sebut B7ng Kobu’ kader PDI yang militan dan mantan anggota DPR RI.

Kelompok FKK 124 yang kini diketuai Raya Tampubolon, dan merekalah yang setia memperingati 27 Juli, walaupun hanya dengan tabur bunga, lalu minum wedang (sarabba) jahe dipinggir jalan.

Anggota DPR RI, Ribka Ciptaning yang juga setia menemani mereka, karena Ribka juga anggota FKK 124, yang saat itu ditangkap harus membawa bayinya yang masih menyusui atau menetek.

.”Soerjadi ‘disponsori’ rezim Orde Baru (Orba) karena saat itu Megawati terpilih sebagai ketua umum partai. Jadi insiden itu adalah insiden perebutan kantor DPP PDI,” jelas Bung Kobu’ panggilan akrabnya.

Megawati menjadi anggota DPR dan karier politiknya di PDI melejit. Melambungnya suara PDI pada Pemilu 1987 dan 1992 mengkhawatirkan penguasa Orde Baru. Begitu pula Soerjadi yang ketokohannya tersaingi Megawati waktu itu.

Meski dijegal, Megawati akhirnya berhasil menjabat Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres PDI di Surabaya pada 1993. Dengan dukungan mayoritas kader PDI, Megawati berhasil merebut pucuk kepemimpinan dari Soerjadi, hingga terjadinya peristiwa 27 Juli 1996.

Kejadian itu sedikitnya melibatkan kubu Pro-Soerjadi, rezim Orde Baru Soeharto, dan sejumlah pejabat militer seperti Sutiyoso yang saat itu merupakan Pangdam Jaya dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Kepala Staf Komando Kodam Jaya.

Mimbar Bebas Megawati yang Buat Rezim Orde Baru Ketakutan, karena hari itu merupakan puncak dari perjuangan panjang komponen pro demokrasi melawan tirani kekuasaan orde baru. Dan melalui itulah terjadi perubahan yang besar, dimana kekyasaan orde baru pimpinan Soeharto yang sangat besar dan sangat kokoh runtuh saat itu.

” Dimana 14 orang menteri dipimpin Ginanjar Kartasasmita yang kesemuanya adalah orang yang dibesarkan dan diberi kebesaran oleh Soeharto selama bertahun-tahun, tiba-tiba kabur tanpa pamit,” ungkap Bung Kobu’.

Bung Kobu melanjutkan dan menjelaskan bahwa, sejak berkuasa, rezim Orba sebenarnya sudah melakukan tindakan-tindakan represif kepada masyarakat. Misal pembredelan semua koran terkecuali koran terkait militer. Tindakan represif itu berlanjut terus sepanjang 30 tahun.

“Contoh di tahun 1980-an, ada tiga pemuda menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer dihukum lebih dari 5 tahun hanya karena menjual buku yang dinyatakan dilarang oleh Orba,” tambahnya.

Dalam kasus PDI, lanjut bung Kobu’, terjadi kenaikan suara yang antara lain disebabkan masuknya Megawati dan Guruh Soekarnoputra menghawatirkan rezim Orde Baru. Berupaya menggembosi kekuatan Megawati, rezim Orde Baru memberikan perlawanan dengan mengusung Soerjadi menjadi tandingan Megawati sebagai pucuk tertinggi di partai.

PDI kubu Megawati tak tinggal diam. Mengadakan aksi unjuk rasa menolak kemenangan Soerjadi yang disponsori Orde Baru, hingga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak hanya itu, perlawanan yang dilakukan Megawati juga digelorakan dengan membuat gerakan Mimbar Bebas.

“Mimbar demokrasi Megawati Soekarnoputri membuat rakyat mengkritik rezim Orba, rezim orba ketakutan sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Diawali dengan kenaikan suara partai PDI pada tahun 1987 dan 1992,” jelasnya.

” Jangan orang pikir perubahan itu tiba-tiba saja. Dan jangan pula berpikir bahwa peristiwa 27 Juli 1996 itu terjadi begitu saja. Itu klimaksnya perjuangan panjang sejumlah putra-putri bangsa yang ingin memperbaiki keadaan bangsa ini, Bung Kobu’ menirukan Muchtar Pakpahan salah satu dedengkot asli reformasi”.

Muchtar Pakpahan guru besar Fakukras Hukum UKI Jakarta yang memiliki keberanian melawan Soeharto, dia tak pernah menikmati kue reformasi yang diperjuangkannya. Ada juga Sri Bintang Pamungkas, Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, HJ. Princen, Rosa Damayanti dan beberapa tokoh yang zaman itu disebut orang-orang gila, karena berani melawan disaat mayoritas orang sedang merunduk ketakutan sekalipun menyadari terjadi kesalahan. Di zaman itu orang sewatak Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Adnan Buyung, Gusdur, Megawati, Muchtar Lubis adalah orang-orang yang langkah karena berani di saat orang sedang ketakutan.

Aspek Internasional di Balik Peristiwa Kudatuli

Di kesempatan itu, Christopher sempat bertemu dengan Komnas HAM dan Menlu Rusia Primakov. Menurut penuturan Alm. Taufiq Kiemas, tutur Bung Kobu’, sebenarnya pada 28 Juli 1996 Menlu Christopher akan bertemu dengan Megawati.

Namun sehari sebelum pertemuan itu, terjadi peristiwa kelabu 27 Juli 1996. Rezim Orba, menurutnya tak ingin pertemuan antara Megawati dan Menlu AS terjadi. Menlu AS dikenal sebagai sosok yang memberi perhatian terhadap masalah-masalah HAM di Indonesia dan beberapa negara lain di dunia.

“Ini aspek penting juga, bahwa peristiwa itu terjadi sehari sebelum terjadi pertemuan antara Megawati dan Warren Christopher,” bebernya.

” Yang lebih penting untuk menjadi refleksi dari peristiwa 27 Juli 1996 yakni, fakta bahwa peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM sepanjang Orba itu masih banyak yang bersifat impunitas.

“Tidak benar-benar terselesaikan secara tuntas. Banyak pelanggaran-pelanggaran HAM berat termasuk sejak tahun 1965-1998 itu masih terkatung-katung,” tambahnya.

Sekarang semua orang teriak dan mengaku reformis bahkan digelari bapak reformasi, padahal di zaman itu kampus menjadi amat gersang. Bahkan mahasiswa pun hanya segelintir saja. Justru gerakan Buruh lah yang menonjol terutama melalui SBSI yang dipimpin Muchtar Pakpahan. Sebabnya karena tangan Orde Baru ibarat gurita yang menjangkau seluruh sudut kehidupan. Tak ada yang tak terjangkau.

Keadaan baru berubah setelah peristiwa 27 Juli 1996. Peristiwa yang terjadi di sekertariat PDI Jl. Diponegoro 58 itu ibarat hujan di penghujung kemarau demokrasi yang sangat panjang. Maka sesudah peristiwa itu, demokrasi yang lama di bonsai, mulai bertunas. Karenanya 27 Juli adalah peristiwa penting bagi republik ini. Sayangnya kini menjadi kerdil, setiap tahun berlalu tanpa arti. Hanya ada tabur bunga di Diponegoro 58, itupun dilakukan FKK 124. Padahal peristiwa itu bukan hanya milik FKK 124, bukan pulah hanya milik PDI Perjuangan. Karena sebelum peristiwa itu, kekuatan pro demokrasi yang selama puluhan tahun hanya tertati-tati, mulai menggelembung. Wujudnya , Muchtar Pakpahan berhasil menghimpun 34 elemen menjadi MARI ( Majelis RAKYAT Indonesia), lembaga yang aktif melakukan mimbar bebas di Diponegoro.

Jadi itu ibarat tungku tempat memanaskan Reformasi. Tetapi kini menjadi biasa-biasa saja. Bahkan di kalangan PDI Perjuangan saja sekarang menjadi sayup-sayup saja. Malahan memunculkan anekdot. Suatu saat seorang anggota DPR RI dari PDI Perjuangan bertanya kepada dr. Ribka Ciptaning. “Mbak, apa sih dua tujuh Juli itu? “.

Sungguh menyedihkan. Padahal kalau 27 Juli tidak terjadi, yang bersangkutan tidak mungkin duduk di Senayan, karena sebelumnya yang bisa masuk Senayan hanyalah orang-orang tertentu, orang yang dipoles dan dipelihara untuk menjaga kelanggengan kekuasan.

** Yustus/Benny Boy

Komentar