Lepongannews.com, Luwu Raya – Politik uang selalu menjadi topik bahasan yang hangat bagi berbagai kalangan dalam setiap momen diskusi oleh tokoh pengamat politik, akademisi, aktifis pegiat pemilu, aktifis pegiat anti korupsi, di berbagai acara yang diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara pemilu, baik berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi yakni, ormas atau lembaga swadaya masyarakat, bahkan sampai dengan obrolan masyarakat di warung kopi.
Namun demikian pada sebagian besar masyarakat umum masih belum banyak difahami secara lengkap apa sesungguhnya politik uang (money politics) itu? apa saja jenisnya? dan sejauhmana dampaknya?.
Hal tersebut disampaikan Dominikus Batoteng Koordinator Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa (P3S) Panwascam Sabbang Selatan pada media ini di Sekretariat Panwaslu Kecamatan Sabbang Selatan, Sabtu 26 Oktober 2024 bahwa, selama ini memang tidak ada definisi baku tentang politik uang. Istilah politik uang digunakan untuk menyatakan korupsi politik, klientelisme hingga pembelian suara.
Menurutnya, politik uang adalah upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan ini bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum suatu negara.
” Dan politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters),” sebutnya.
Dalam undang-undang pemilu maupun undang-undang pilkada tidak dijelaskan secara khusus tentang apa pengertian politik uang, namun diatur dalam pasal yang memuat norma ketentuan larangan dan sanksi yang berkaitan dengan peristiwa politik uang tersebut, yang mana politik uang merupakan suatu tindak pidana.
Dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (undang-undang pemilu), pada Pasal 515 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,-.
Selanjutnya dalam Pasal 523 menyatakan Ayat (1) “Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dlm pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Di ayat (2) “Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah)”.
Di ayat (3) “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,” terang Domi panggilan akrabnya.
Dalam Pemilihan Umum atau Pilkada ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang dibedakan menjadi 4 kategori peristiwa politik uang berdasarkan waktu kejadian yakni, peristiwa politik uang yang terjadi pada saat pemungutan suara berlangsung, pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada hari pemungutan suara.
Lamanya ancaman sanksi pidana penjara dan denda yaitu, berkisar antara paling lama 2 tahun dan denda 24 juta sampai dengan paling lama 4 tahun dan denda 48 juta. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pihak pemberi.
Dalam Pilkada ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang diatur dengan lebih berat, dengan adanya ketentuan minimal pidana (bukan paling lama) yaitu, pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pemberi dan penerima.
” Untuk jenis-jenis Politik Uang dalam pemilihan umum/Pilkada, Pilgub yang terjadi di indonesia meliputi yakni, pembelian suara (vote buying), pemberian-pemberian pribadi (individual gifts), pelayanan dan aktivitas (services and activities). Seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya. Kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu,” terangnya.
Domi menambahkan bshwa, barang-barang kelompok (club goods). Pemberian untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individu, yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain, dan juga Pork barrel projects. Proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu.
Kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu. Banyak kandidat menjanjikan akan memberikan program-program dan proyek-proyek yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang biasanya berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk kelompok komunitas tertentu, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan pendapatan.
Dampak politik uang yang sudah lama tumbuh subur dalam system sosial kemasyarakatan, kita ini ibarat sebuah penyakit menahun yang mencederai sistem demokrasi. Politik uang sangat menghambat dalam membangun sebuah proses demokrasi yang sehat karena dampaknya yang sangat merusak.
Domi memberikan contoh, beberapa dampak buruk politik uang bagi demokrasi yakni, merendahkan martabat rakyat, menimbulkan ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat secara politik, mengubah kekuasaan politik menjadi masalah private/individu, bukan lagi masalah publik yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel, menghilangkan sikap kritis masyarakat terhadap kekuasaan, manipulasi hubungan sosial dari hubungan yang mengandalkan trust (kepercayaan) menjadi hubungan yang transaksional.
Nah, dengan adanya politik uang akan terjadi pergeseran nilai atau pola hubungan yang semestinya dalam memilih pemimpin atas dasar kepercayaan atau menimbulkan potensi terjadinya perilaku korupsi.
” Dengan praktik politik uang, maka biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat calon pemimpin pada saat pemilihan akan membengkak sangat tinggi, hal tersebut tentunya menjadikan beban politik yang berat bagi kandidat yang mengikuti kontestasi pemilihan, sehingga pada saat terpilih dan duduk di kursi kekuasaan akan terbebani oleh persoalan individu berkaitan dengan modal politik ini yakni, persoalan bagaimana modal yang sudah dikeluarkan dapat kembali secepatnya jauh sebelum akhir periode masa jabatannya,” tambah Domi.
Ada dua potensi yang dapat timbul sebagai konsekwensi dari kondisi tersebut yakni, timbulnya kecenderungan adanya potensi perilaku korupsi yang dapat menggerogoti anggaran negara dan potensi terabaikannya nasib rakyat karena pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan lebih banyak disibukkan dengan persoalan individunya, kedua hal tersebut tentunya merupakan kerugian yang akan diderita oleh rakyat.
** Bennyus
Komentar